Jumat, 15 Juni 2012

Penerbitan Himbauan Membayar KMS


Kenapa Harus Lapor Pajak?

Bulan Maret sudah lewat, usai sudah hiruk pikuk penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Bagi sebagian orang, para buruh khususnya, entah itu buruh level atas maupun level kacung macem saya, mungkin bulan Maret adalah satu-satunya saat di mana orang ingat punya NPWP, ingat kalo di negara ini ada kewajiban yang namanya laporan pajak.
“Kenapa harus lapor tho Le?” Tanya Kang Noyo, di sela-sela semilir angin dan aroma kopi di warung Mbok Darmi.
“Ya karena memang harus begitu.” Jawab saya sekenanya. 
“Lha iya, kenapa harus begitu?” Kejar Kang Noyo.
“Karena memang dari sananya sudah begitu.” Biar tambah anyel, sekali-kali boleh lah saya gantian mbikin dia anyel. 
Pertanyaan Kang Noyo bukan pertama kali ini saya dengar, dan saya pikir pertanyaan itu sangat wajar. Untuk buruh macem saya, tiap bulan gajinya sudah dipotong pajak sama pabrik, trus pabrik juga sudah melaporkan pajak yang dipotong itu ke kantor pajak, bahkan di akhir tahun laporan itu sudah menyebutkan rincian nama beserta jumlah penghasilan dan pajak yang dipotong dari masing-masing karyawan.
Wajarlah buruh macem saya dan Kang Noyo nanya, “Kenapa masing-masing buruh masih harus lapor?” 
“Harusnya ndak perlu tho, wong pajaknya sudah beres.” Ujar Kang Noyo.
Beres, kata ini selalu melegakan, pokoknya[tm] beres. 
“Jadi gini lho Kang, pada dasarnya kewajiban di pajak itu ada dua, mbayar sama lapor.” Saya berusaha menjelaskan.
Kewajiban yang pertama, mbayar, bisa dilakukan dengan dua cara :
  1. Mbayar sendiri, umumnya ini dilakukan oleh wajib pajak yang punya usaha sendiri
  2. Dibayarkan oleh pihak lain, contohnya pajak karyawan pembayarannya dipotong melalui perusahaan.
Kewajiban yang kedua adalah lapor, menurut undang-undang pajak, laporan ini pada dasarnya mencakup tiga hal:
  1. Pembayaran pajak, baik yang dibayar sendiri atau yang dipotong pihak lain
  2. penghasilan
  3. Harta dan utang
“Yang dilaporkan sama pabrik itu kan cuma gaji dari pabrik dan pajaknya, ndak nyebut penghasilan kita yang dari luar pabrik, juga ndak nyebut harta sama utang kita.” Ujar saya.
Kang Noyo manggut-manggut.
“Sik tho, kalo penghasilan dari luar pabrik disebut aku masih paham, tapi kok sampai ke harta dan utang segala, buat apa?” Tanya Kang Noyo lagi.
“Gini Kang, waktu sampeyan habis gajian, apa yang sampeyan lakukan?” Saya balik nanya.
“Beli kebutuhan dapur.”
“Trus mbayar listrik, SPP anak, beli pulsa, dan macem-macemnya tho.” Kata saya meneruskan.
Intinya saat sampeyan menerima penghasilan, yang pertama kali sampeyan lakukan adalah melakukan konsumsi. Setelah konsumsi selesai dilakukan, ada dua hal yang mungkin terjadi:
  1. Gajinya masih tersisa, akhirnya berwujud harta
  2. Gajinya kurang, terpaksa utang
“Artinya jumlah harta dan utang sampeyan bisa dijadikan salah satu ukuran, apakah penghasilan yang sampeyan laporkan ke kantor pajak itu sudah benar atau belum, wajar atau ndak.”
Kang Noyo manggut-manggut lagi.
“Memangnya penghasilan yang di laporan pajak itu harus bener dan wajar tho?”
Yo mesti tho! 
“Kalo penghasilannya ndak halal piye?”
Wis, pajak itu ndak kenal halal haram, pokoknya[tm] semua dilaporkan. 


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More