This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 15 Juni 2012

Pembuatan Surat Himbauan ber-NPWP


Warning : Artikel atau peraturan pajak ini dipublish beberapa saat/ waktu yang lalu  sehingga mungkin saja saat ini sudah tidak relevan lagi, karena sifat pajak yang dinamis.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
28 Februari 1997
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 04/PJ.2/1997
TENTANG
EKSTENSIFIKASI WAJIB PAJAK DENGAN PEMANFAATAN DATA PBB
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
1. Sebagaimana diketahui bahwa data Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan data yang potensial
dalam pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Berdasarkan hasil uji coba di beberapa Kantor
Pelayanan Pajak di wilayah DKI (KPP Jakarta Kebon Jeruk, KPP Jakarta Sawah Besar, KPP Jakarta
Pulo Gadung, KPP Jakarta Kelapa Gading dan KPP Jakarta Kebayoran Baru) yang dimulai sejak bulan
April 1995, diperoleh gambaran bahwa ternyata banyak obyek pajak PBB yang berpotensi menjadi
Wajib Pajak tetapi pemiliknya belum ber-NPWP. Salah satu hambatan dalam uji coba dalam rangka
pemberian NPWP tersebut adalah belum terlaksananya Pemeriksaan Sederhana Lapangan terhadap
calon Wajib Pajak.
2. Dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. : SE-18/PJ.7/1996 tanggal 24 Oktober 1996 tentang
PSL untuk Ekstensifikasi Wajib Pajak telah diatur tentang prosedur pelaksanaan PSL terhadap Calon
Wajib Pajak yang telah dihimbau tetapi tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sehingga
diharapkan hambatan tersebut pada butir 1 telah dapat diatasi.
3. Sehubungan dengan hal-hal tersebut dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan data PBB untuk
ekstensifikasi wajib pajak, bersama ini kepada Saudara diminta untuk melakukan beberapa kegiatan
dan kerja sama serta koordinasi sebagai berikut :
Kepala Kantor.
a. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan wilayahnya masing-masing menentukan
blok-blok yang diprioritaskan dalam peta PBB yang penduduknya berpotensi menjadi wajib
pajak seperti : wilayah pertokoan, perkantoran, kondominium, real estat, rumah-rumah dan
vila-vila baru, dan sebagainya untuk dilaksanakan ekstensifikasi.
b. Menginformasikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
bersangkutan untuk memberikan Daftar Hasil Rekaman Data Tanah dan Bangunan yang
diprioritaskan tersebut diprint-out per blok/jalan dan mencakup semua obyek PBB.
c. Melakukan identifikasi data PBB tersebut melalui master file KPP untuk mengetahui apakah
pemilik obyek PBB tersebut sudah ber-NPWP atau belum. Kepada yang belum ber-NPWP
dikirimi surat himbauan untuk mendaftarkan diri atau meminta NPWP. Apabila surat himbauan
tidak direspon, kembali dari pos atau menyatakan tidak wajib berNPWP agar dilakukan PSL
sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.: SE-18/PJ.7/1996 tanggal 24 Oktober 1996.
d. Apabila dalam kegiatan tersebut pada huruf c ditemui Obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang
pemiliknya berdomisili di wilayah KPP lain atau telah terjadi perubahan pemilikan agar dibuat
data (dengan KP.PDIP 3.1) dan dikirim ke KPP dan KPP. PBB yang bersangkutan lewat Kantor
Wilayah atasannya dengan permintaan untuk ditindaklanjuti.
e. Dalam hal obyek PBB seperti wilayah tempat tinggal, bangunan pertokoan, pasar,
perkantoran, kondominium dan real estat kemungkinan Obyek WP PBB tersebut terdaftar
atas nama pemilik atau pengembang bangunan yang telah ber-NPWP dan bukan penghuni
atau pemanfaat obyek, pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak juga terus dilaksanakan
terhadap pembeli, penyewa atau penghuninya.
f. Terhadap Obyek PBB yang berupa suatu komplek seperti pertokoan, mall dan perkantoran
agar diusahakan untuk mengetahui keadaan pemilik atau pemanfaat bangunan satu persatu
untuk kemungkinan dilakukannya ekstensifikasi Wajib Pajak.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
a. Para Kepala KP. PBB agar menyiapkan data yang diperlukan oleh Kepala KPP sehubungan
dengan pelaksanaan ekstensifikasi tersebut.
b. Menyerahkan Copy Peta Blok dan Hasil Rekaman Data Tanah dan Bangunan yang diminta
oleh Kepala KPP.
c. Melakukan perbaikan data PBB berdasarkan informasi yang diperoleh dari KPP.
d. Berdasarkan permintaan dari KPP, baik secara sendirian atau kerja sama dengan KPP
melakukan pendataan terhadap kelompok bangunan seperti pertokoan, mall atau perkantoran
untuk mengetahui pemilik atau keadaan obyek pajak.
Kabid IAP pada Kanwil
Melakukan koordinasi dan pemantauan kerjasama antara Kepala KPP dan KP. PBB di wilayahnya agar
pemanfaatan data dan pemantauan PBB dalam rangka ekstensifikasi Wajib Pajak ini dapat mencapai
hasil yang optimal.
4. Laporan pelaksanaan kerjasama ini mengacu dan digabungkan pada Laporan Hasil Pelaksanaan PSL
Ekstensifikasi Wajib Pajak yang diatur dalam Surat Edaran Nomor SE-18/PJ.23/1996 tanggal 4
Nopember 1996.
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Direktur Jenderal,
ttd
Fuad Bawazier

Penerbitan Daftar Nominatif Usulan Pemeriksaan


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 51/PJ/2008
TENTANG
PENEGASAN BERKAITAN DENGAN PEMERIKSAAN UNTUK TUJUAN
LAIN DALAM RANGKA PEMBERIAN NPWP
DAN/ATAU PENGUKUHAN PKP SECARA JABATAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Dalam rangka penyeragaman pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 426/PM.1/2007 tentang Uraian Jabatan Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.04/2007 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional dan Kebijakan Umum Pemeriksaan Tahun 2007, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, antara lain mengatur bahwa pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut :
    1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
    2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
    3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
    4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
    5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
    6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
    7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
    8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
    9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
    10. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
    11. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 426/PM.1/2007 tentang Uraian Jabatan Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak mengatur :
    1. uraian tugas dan kegiatan Kepala Seksi Pemeriksaan antara lain menyusun Daftar Nominatif dan/atau Lembar Penugasan Pemeriksaan Wajib pajak yang akan diperiksa, membuat usulan pembatalan Daftar Nominatif dan/atau Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2)  Wajib Pajak yang akan diperiksa, dan menerbitkan dan menyalurkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3), Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak dan Surat Pemanggilan Pemeriksaan Pajak.
    2. uraian tugas dan kegiatan Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan antara lain melaksanakan penerbitan dan penatausahaan Surat Himbauan NPWP dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), menyusun Daftar Nominatif Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan, dan membimbing pelaksanaan dan penatausahaan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan.
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain dinyatakan bahwa Pemeriksaan dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan apabila setelah 14 hari sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan untuk mendaftarkan diri :
    1. Wajib Pajak tidak menanggapi surat pemberitahuan;
    2. surat pemberitahuan kembali pos;
    3. Wajib Pajak menanggapi surat pemberitahuan dengan menyatakan tidak wajib mempunyai NPWP dan/atau belum memenuhi syarat untuk dikukuhkan;
    4. Wajib Pajak menanggapi dengan menyatakan sudah memiliki NPWP dan atau telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi berdasarkan Master File DJP ternyata tidak terdaftar atau nama dan alamatnya berbeda.
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.04/2007 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional dan Kebijakan Umum Pemeriksaan Tahun 2007 dinyatakan bahwa mengingat pemeriksaan untuk tujuan lain pada prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak atau pegawai selain pejabat fungsional pemeriksa pajak yang memiliki keahlian di bidang pemeriksaan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor.
  5. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal yang terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan sebagai berikut :
    1. Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan menyampaikan usulan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan tanggapan calon Wajib Pajak terhadap Surat Himbauan NPWP dan/atau Pengukuhan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada angka 3 kepada Kepala Seksi Pemeriksaan.
    2. Berdasarkan usulan pemeriksaan dari Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan sebagaimana tersebut diatas, Kepala Seksi Pemeriksaan membuat Daftar Nominatif Wajib Pajak yang akan diperiksa dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Wilayah setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Proses selanjutnya mengikuti peraturan pemeriksaan.
    3. Sehubungan dengan administrasi pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan belum dapat direkam di SIMPP, maka proses penyampaian Daftar Nominatif dan persetujuan dilakukan secara manual.
    4. Susunan Tim Pemeriksa untuk pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan terdiri dari pejabat fungsional pemeriksa pajak atau pegawai selain pejabat fungsional pemeriksa pajak yang memiliki keahlian di bidang pemeriksaan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
    5. Kepala Seksi Pemeriksaan berkewajiban untuk menyampaikan hasil pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan kepada Kepala Seksi Ekstensifikasi.
    6. Penyesuaian peraturan yang mengatur tentang Uraian Jabatan dan Prosedur Operasi Standar (SOP) terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan akan dilakukan kemudian.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 September 2008
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
Tembusan:
  1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
  2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji diLingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
  3. Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

Penyusunan Monografi Fiskal


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 01/PJ.22/2003

TENTANG

PENYEMPURNAAN PEDOMAN PEMBUATAN MONOGRAFI FISKAL

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan diperlukannya data Monografi Fiskal yang lebih akurat, aktual, dan sistematis sehingga dapat memberikan gambaran potensi suatu Wilayah, maka perlu dilakukan penyempurnaan Pedoman Pembuatan Monografi Fiskal menjadi sebagai berikut :
  1. Untuk keseragaman dalam pembuatan Monografi Fiskal tersebut, dan sebagai panduan dalam pembuatan serta memudahkan dalam pencarian data, bersama ini dilampirkan format bentuk Monografi Fiskal yaitu:
    1. Lampiran A; format bentuk Monografi Fiskal yang harus dibuat oleh KPP (Seksi PDI).
    2. Lampiran B; format bentuk Monografi Fiskal yang harus dibuat oleh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP (Bidang AKP).
    1. Kanwil VII DJP Jaya Khusus dan KPP Khusus serta Kanwil XIX Wajib Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar tidak perlu membuat Monografi Fiskal.
    2. Monografi Fiskal yang dibuat oleh Kanwil tidak perlu merupakan kompilasi dari Monografi Fiskal yang dibuat oleh KPP. Dalam hal Monografi Fiskal dari KPP belum/tidak diterima oleh Kanwil, maka Kanwil agar menyusun Monografi Fiskal dengan data yang dikumpulkan sendiri dari wilayahnya.
    3. Monografi Fiskal dibuat setiap tahun. Kepala KPP harus menyampaikan Monografi Fiskal kepada Kepala Kanwil atasannya selambat-lambatnya tanggal 30 September (dalam bentuk hard copy dan soft copy). Kepala Kanwil harus menayangkan Monografi Fiskal Kanwil maupun KPP dalam Intranet Kanwil yang bersangkutan selambat-lambatnya tanggal 30 November dan di update setiap tahun atau setiap ada perubahan.
    Surat Edaran ini merupakan penyempurnaan atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-20/PJ.22/1995 tanggal 4 Juli 1995 tentang Pedoman Pembuatan Monografi Fiskal.
    Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
     




    DIREKTUR JENDERAL, 
    ttd
    HADI POERNOMO 




    http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=9221

    Penerbitan Himbauan Membayar KMS


    Kenapa Harus Lapor Pajak?

    Bulan Maret sudah lewat, usai sudah hiruk pikuk penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Bagi sebagian orang, para buruh khususnya, entah itu buruh level atas maupun level kacung macem saya, mungkin bulan Maret adalah satu-satunya saat di mana orang ingat punya NPWP, ingat kalo di negara ini ada kewajiban yang namanya laporan pajak.
    “Kenapa harus lapor tho Le?” Tanya Kang Noyo, di sela-sela semilir angin dan aroma kopi di warung Mbok Darmi.
    “Ya karena memang harus begitu.” Jawab saya sekenanya. 
    “Lha iya, kenapa harus begitu?” Kejar Kang Noyo.
    “Karena memang dari sananya sudah begitu.” Biar tambah anyel, sekali-kali boleh lah saya gantian mbikin dia anyel. 
    Pertanyaan Kang Noyo bukan pertama kali ini saya dengar, dan saya pikir pertanyaan itu sangat wajar. Untuk buruh macem saya, tiap bulan gajinya sudah dipotong pajak sama pabrik, trus pabrik juga sudah melaporkan pajak yang dipotong itu ke kantor pajak, bahkan di akhir tahun laporan itu sudah menyebutkan rincian nama beserta jumlah penghasilan dan pajak yang dipotong dari masing-masing karyawan.
    Wajarlah buruh macem saya dan Kang Noyo nanya, “Kenapa masing-masing buruh masih harus lapor?” 
    “Harusnya ndak perlu tho, wong pajaknya sudah beres.” Ujar Kang Noyo.
    Beres, kata ini selalu melegakan, pokoknya[tm] beres. 
    “Jadi gini lho Kang, pada dasarnya kewajiban di pajak itu ada dua, mbayar sama lapor.” Saya berusaha menjelaskan.
    Kewajiban yang pertama, mbayar, bisa dilakukan dengan dua cara :
    1. Mbayar sendiri, umumnya ini dilakukan oleh wajib pajak yang punya usaha sendiri
    2. Dibayarkan oleh pihak lain, contohnya pajak karyawan pembayarannya dipotong melalui perusahaan.
    Kewajiban yang kedua adalah lapor, menurut undang-undang pajak, laporan ini pada dasarnya mencakup tiga hal:
    1. Pembayaran pajak, baik yang dibayar sendiri atau yang dipotong pihak lain
    2. penghasilan
    3. Harta dan utang
    “Yang dilaporkan sama pabrik itu kan cuma gaji dari pabrik dan pajaknya, ndak nyebut penghasilan kita yang dari luar pabrik, juga ndak nyebut harta sama utang kita.” Ujar saya.
    Kang Noyo manggut-manggut.
    “Sik tho, kalo penghasilan dari luar pabrik disebut aku masih paham, tapi kok sampai ke harta dan utang segala, buat apa?” Tanya Kang Noyo lagi.
    “Gini Kang, waktu sampeyan habis gajian, apa yang sampeyan lakukan?” Saya balik nanya.
    “Beli kebutuhan dapur.”
    “Trus mbayar listrik, SPP anak, beli pulsa, dan macem-macemnya tho.” Kata saya meneruskan.
    Intinya saat sampeyan menerima penghasilan, yang pertama kali sampeyan lakukan adalah melakukan konsumsi. Setelah konsumsi selesai dilakukan, ada dua hal yang mungkin terjadi:
    1. Gajinya masih tersisa, akhirnya berwujud harta
    2. Gajinya kurang, terpaksa utang
    “Artinya jumlah harta dan utang sampeyan bisa dijadikan salah satu ukuran, apakah penghasilan yang sampeyan laporkan ke kantor pajak itu sudah benar atau belum, wajar atau ndak.”
    Kang Noyo manggut-manggut lagi.
    “Memangnya penghasilan yang di laporan pajak itu harus bener dan wajar tho?”
    Yo mesti tho! 
    “Kalo penghasilannya ndak halal piye?”
    Wis, pajak itu ndak kenal halal haram, pokoknya[tm] semua dilaporkan. 


    Pengolahan Data


    Pengolahan Data

    Struktur organisasi Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan:
    http://www.pajak.go.id/sites/default/files/styles/large/public/strukturppddp.png
    Ketika kantor pusat Ditjen Pajak akhir tahun lalu dimodernisasi, ada satu posisi yang sampai saat ini belum terbentuk. Dalam struktur organisasi Ditjen Pajak, unit ini disebut Kantor Besar Pengolahan Data dan Dokumen.
    Kini meski fisik unit baru tersebut belum terbentuk, Ditjen Pajak sudah mengantongi Permenkeu No. 84/PMK.01/2007 tentang organisasi dan tata kerja pusat pengolahan data tersebut.

    Kabarnya dalam waktu dekat, organisasi baru ini dalam waktu dekat segera diawaki. Dalam Permenkeu tersebut unit kerja ini disebut Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan, bukan Kantor Besar Pengolahan Data dan Dokumen.

    Masalah pengolahan data memang menjadi problem besar di Ditjen Pajak. Pegawai Ditjen Pajak akan merasa dibuang atau disingkirkan bila mendapat posisi sebagai back office. Di antara beberapa posisi administrasi kantor, seperti pegawai tata usaha, umum, atau bidang administrasi lain, duduk sebagai pengolah data adalah jabatan yang paling tidak disukai. Menjadi kasie umum masih lebih baik dibandingkan dengan menjadi kasie pengolahan data.

    Posisi apa yang mereka incar? Kalau boleh memilih tentu mengambil posisi sebagai staf atau pimpinan di PPh badan, PPN atau seksi keberatan.

    Posisi-posisi ini kartu pass untuk bisa masuk ruang kerja kepala kantor setiap saat. Bukan hanya itu, posisi tersebut juga bisa menjadi pass masuk mall, restoran mewah, show room mobil hingga klub malam. 

    Fuad Bawazier, saat menjabat sebagai Dirjen Pajak, merasakan bagaimana sulitnya mencari orang untuk duduk sebagai pegawai atau pimpinan di unit pengolahan data ini. Mereka umumnya mengincar posisi ini sekadar untuk masuk gerbong promosi. Namun satu dua bulan kemudian, dia mulai bergerak untuk mutasi ke tempat lain yang lebih menjanjikan.

    Untuk itu, Fuad pada 1995 mengeluarkan surat edaran yang mengatur ulang mekanisme kerja pada unit PDI (pusat data dan informasi). Perekaman data/dokumen yang sebelumnya menjadi tanggung jawab seksi DPI dipecah-pecah sesuai struktur jabatan yang ada. Misalnya, perekaman SPT Tahunan PPh badan direkam oleh seksi PPh badan, SPT masa PPN direkam oleh seksi PPN dan seterusnya.

    Sekat-sekat pada era Fuad kini mulai dihilangkan. Pada Kantor Pelayanan Pajak ataupun Kantor Wilayah yang sudah modern, pembagian pegawai bukan berdasarkan jenis pajak tapi berdasarkan fungsi. Jadi tidak ada lagi seksi favorit atau seksi buangan. Tapi di kantor yang belum modern, biasa di sebut KPP paripurna, sekat-sekat berdasarkan jenis pajak masih ada.

    Meski demikian, fungsi pengolah data dan informasi tidak mengalami perubahan. Baik di KPP yang sudah modern maupun belum, seksi ini tetap ada. Bedanya seksi pengolahan data dan informasi di kantor modern tampaknya diperluas. 

    Pusat pengolahan data 

    Organisasi yang dibentuk berdasarkan Permenkeu No. 84/PMK.01/2007 ini mempunyai tugas melaksanakan penerimaan, pemindaian, perekaman, dan penyimpanan dokumen perpajakan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Keberadaan unit pelaksana teknis ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas, akurasi, konsistensi dan keamanan data dan dokumen perpajakan.

    Pusat pengolahan data mempunyai enam fungsi untuk menjabarkan tugasnya. Pertama, mengumpulkan, menerima dan menyortir dokumen perpajakan. Kedua, memindai dokumen dan merekam data perpajakan. Ketiga, mengarsip dokumen perpajakan. Keempat, memelihara basis data. Kelima, melayani peminjaman dokumen perpajakan kepada unit organisasi di lingkungan Ditjen Pajak. Keenam, melaksakan administrasi kantor.

    Mampukah organisasi ini mengatasi masalah pengolahan data dan dokumen data perpajakan?

    Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya isi dan substansi Permenkeu No. 84/PMK.01/2007 ini dibaca lebih seksama. Dari sana ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan di atas.

    Pertama, mengapa pusat pengolahan data ini hanya mempunyai wilayah kerja di Jakarta thok? Pasal 26 menyatakan pusat pengolahan data ini berlokasi di Jakarta, dan wilayah kerjanya meliputi tujuh kanwil yang ada di ibu kota yaitu Kanwil WP Besar, Kanwil Jakarta Khusus, Kanwil Jakarta Pusat, Barat, Selatan, Timur dan Utara. 

    Bagaimana dengan data dan dokumen di kanwil-kanwil lainnya? Apakah ditangani mereka sendiri atau ditumpuk di gudang saja, menunggu Menkeu menerbitkan dan mengangkat kepala pusat pengolahan data di masing-masing wilayah? 

    Tapi Menkeu juga tidak mudah membuat permenkeu yang menyangkut penambahan jabatan karena harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dulu dari Kantor Menpan. 

    Wilayah kerja pusat data yang hanya mencakup DKI Jakarta ini memang sengaja dibuat seperti itu, karena Jakarta meliputi 60% penerimaan negara atau suatu kecerobohan untuk ngerjain Menteri Keuangan? Dirjen Pajak Darmin Nasution sendiri tidak tahu bahwa Permenkeu No. 84/PMK.01/2007 itu wilayahnya hanya mencakup Jakarta saja. 

    Kedua, bagaimana mekanisme transfer fisik data dan dokumen? Seperti diketahui, Wajib Pajak menyerahkan semua dokumen perpajakan melalui KPP setempat. 

    Dalam Permenkeu tersebut dinyatakan penyimpanan data dan dokumen menjadi tanggung jawab pusat data, berarti data yang ada di KPP harus diangkut ke pusat data. Bisa jadi, masing-masing KPP setiap hari menyerahkan fisik data dan dokumen ke pusat data, atau pusat data yang mengambil berkas tersebut di masing-masing KPP.

    Bayangkan, setiap hari akan ada puluhan armada Ditjen Pajak yang wira-wiri dari dan ke kantor pusat data.

    Ketiga, bagi KPP yang membutuhkan data dan dokumen wajib pajak, misalnya untuk kepentingan pemeriksaan, maka KPP harus meminjam data dan dokumen tersebut dari kantor pusat data. Setiap bulan, berkas/dokumen yang diserahkan WP ke kantor pajak sangat banyak. Mulai dari SPT masa PPN, SPT masa PPh, SSP Pasal 22, SSP Pasal 21, SSP Pasal 23 dan seterusnya. 

    Terbayang tidak sih di benak Menkeu Sri Mulyani Indrawati bagaimana susahnya mencari dokumen itu nantinya. Sekarang saja, di satu KPP, permintaan dokumen antar seksi saja kadang membutuhkan waktu berhari-hari. Dan ini, mudah-mudahan tidak, bisa menjadi alat baru untuk pungli antarunit dalam satu instansi. 

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More